
Larangan penjualan rokok dalam Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) DKI Jakarta diperkirakan berdampak besar pada sektor ritel modern. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan sekitar 67 ribu toko akan terdampak langsung, mengingat rokok selama ini menjadi salah satu sumber pendapatan utama.
Dalam diskusi publik Menyeimbangkan Kesehatan dan Ekonomi: Update Raperda KTR DKI Jakarta yang digelar pada 22 September 2025, sejumlah perwakilan dunia usaha menyampaikan keberatan. Mereka menilai aturan baru ini bisa menimbulkan efek domino terhadap pekerja, penjaga toko, hingga keberlangsungan usaha ritel di tengah kondisi ekonomi yang masih berat. Rokok, menurut mereka, adalah produk legal sehingga pelarangan penjualan berpotensi membuat perdagangan seolah ilegal.
"Efek domino pelarangan penjualan di Raperda KTR ini sangat besar ke pekerja, penjaga toko, dan lainnya yang menggantungkan hidupnya dari rokok. Selama ini kami sudah mematuhi dan sangat concern dengan pembatasan-pembatasan yang makin ketat,” ujar perwakilan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Asraf Razak.
Dunia usaha meminta pemerintah daerah untuk mengkaji ulang pasal-pasal dalam Raperda tersebut dan melibatkan partisipasi publik secara lebih bermakna. Mereka khawatir kebijakan ini justru membuka risiko PHK massal, padahal selama ini peritel sudah menaati aturan pembatasan, termasuk larangan menjual rokok kepada anak di bawah umur.
“Kami punya hak didengar. Apa yang kami utarakan ini harapannya bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan. Ini berkaitan langsung dengan aspek keberlangsungan dunia usaha ritel. Pertimbangkan hajat hidup banyak orang. Ada bahaya PHK yang mengintai yang harus dipandang serius. Selama ini kami juga sudah taat dengan tidak menjual rokok pada anak di bawah umur,” jelas Asraf.
Kritik juga datang dari kalangan akademisi. Ali Rido, Ketua Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Trisakti, menilai sejumlah pasal dalam Raperda KTR tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak ditemukan dalam naskah akademiknya. Menurutnya, larangan iklan maupun radius penjualan di pasal 17 tidak koheren dengan peraturan perundangan di atasnya, sehingga berpotensi menimbulkan konflik dari sisi asas kemanfaatan.
Sementara itu, analis kebijakan KPPOD, Eduardo Edwin Ramda, mengingatkan bahwa pasal-pasal bermasalah justru tetap dipertahankan dalam pembahasan, meski berdampak besar terhadap pelaku usaha dan perekonomian daerah. Ia menyinggung janji Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung yang sebelumnya berkomitmen tidak akan membiarkan aturan ini memberatkan UMKM, namun dalam draf terbaru justru muncul ketentuan yang dinilai semakin eksesif.
Kritik serupa juga disampaikan perwakilan industri yang hadir dalam diskusi tersebut. Mereka menilai substansi Raperda terkesan dipaksakan dan masukan yang disampaikan pelaku usaha sejauh ini diabaikan.