
Transparansi pelaporan dana kampanye oleh peserta pemilu masih sekadar formalitas. Itu hanya menyangkut kepatuhan pelaporan ketimbang hal-hal yang substantif dan terbuka. Padahal hal tersebut penting untuk menjaga keadilan dalam pemilu.
Selama ini pelaporan dana kampanye hanya dilakukan untuk memenuhi syarat administratif. Dana yang dilaporkan juga diduga tak sepenuhnya sesuai dengan realitas di lapangan.
"Di kita ini jadi lebih pada kepatuhan terhadap pemenuhan akuntansi dana kampanye, belum menyentuh pada substansi. Lebih kepada auditnya itu audit formal," kata Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta saat dihubungi, hari ini.
Berdasarkan pemantauan KIPP, masih banyak permasalahan pada transparansi pelaporan dana kampanye. Banyak kegiatan atau aktivitas kampanye yang tidak dilaporkan ke dalam pencatatan dengan dalih itu dilakukan oleh pihak lain.
Tak sedikit pula pengeluaran dan sumber dana yang tidak dilaporkan dengan alasan itu digunakan atau diterima di luar masa kampanye. "Di pemilu kita ini, sebesar apa pun pengeluaran partai politik atau timnya, itu tidak menjadi dana kampanye ketika dilakukan di luar waktu kampanye yang sudah ditetapkan oleh KPU," kata Kaka.
"Jadi ada dana liar yang dilakukan oleh entah siapa, tidak diakui," tambahnya.
Perihal sumbangan dana juga sering kali tak ada kejelasan. Bahkan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) sempat menduga banyaknya aliran dana dari sumber yang tidak jelas dan terindikasi sebagai pencucian uang. Sayangnya tidak ada tindak lanjut atas temuan PPATK tersebut.
Sejarinya, imbuh Kaka, ada harapan untuk memperbaiki persoalan tersebut dengan memanfaatkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 135/PUU-XXII/2024. Dari putusan itu, pembuat UU dapat mengubah UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan UU 7/2017 tentang Pemilu.
Jika itu dimanfaatkan, pembuat UU dapat memasukkan kriteria maupun indikator transparansi pelaporan dana kampanye yang lebih kuat. "Seluruh pengeluarannya benar-benar dimasukkan. Karena dana kampanye dalam UU sekarang itu perlu penguatan. Sekarang yang disebut dana kampanye hanya yang dicatat saja, sehingga terlalu sempit definisinya," tutur Kaka.
"Sehingga tidak ada orang atau kelompok yang mampu untuk mengendalikan pemilu dengan uang. Harusnya one man one vote itu tidak menjadi US$1 menjadi one vote. Tidak boleh ada kekuatan ekonomi, oligarki. Itu tidak boleh terjadi, sehingga preferensi publik itu menjadi apa yang benar-benar dia butuhkan terkait dengan representasinya," pungkas dia. (Mir/P-1)