Di usia 67 tahun, Ann Wright masih berdiri di garis depan perjuangan terhadap kemerdekaan Palestina. Dia menjadi salah satu relawan Global Sumud Flotilla yang bakal berlayar ke Gaza dari Tunisia pada Minggu 7 September besok.
Padahal dulu sekali, Ann adalah seorang kolonel militer Angkatan Darat Amerika Serikat (AS). Pernah pula menjadi diplomat.
“Saya mengundurkan diri 22 tahun yang lalu sebagai bentuk oposisi terhadap perang AS di Irak,” kata Ann saat ditemui kumparan di Hotel Radisson, Tunis, Tunisia, Jumat (5/9). Hotel Radisson jadi tempat pelatihan bagi para relawan global yang akan berlayar ke Gaza.
Sejak saat itu, kata Ann, dirinya justru bekerja pada isu-isu Palestina. Terutama mendorong supaya negaranya, AS, berhenti terlibat dalam mendukung aksi kriminal Israel terhadap rakyat Palestina.
“Dan sekarang dengan terjadinya genosida, sangat penting bagi warga Amerika untuk mengatakan tidak kepada pemerintah, tidak ada dukungan untuk Israel yang melakukan genosida,” ungkap Ann.
Ann lalu bercerita. Ini bukan kali pertama ikut gerakan flotilla. Pada 2010, dia terlibat dalam gerakan Gaza Freedom Flotilla. Kala itu, kapal Mavi Marmara diserang militer Israel di perairan internasional, menewaskan sembilan aktivis Turki. Itu jadi peristiwa besar dan banyak diberitakan dunia.
Pada 2016, Ann juga terlibat dalam gerakan Women’s Boat to Gaza, bagian dari Freedom Flotilla Coalition. Kala itu, dua kapal layar kecil membawa aktivis perempuan internasional menuju Gaza. Namun, kapal ini dicegat oleh Angkatan Laut Israel sebelum sampai tujuan.
"Saya telah mengikuti banyak flotilla sebelumnya. Saya berada di flotilla tahun 2010, flotilla tahun 2016, dan saya telah menjadi bagian kecil dari banyak flotilla lainnya. Saya ingin berada di sini di Tunisia sebagai bagian dari Global Sumud Flotilla karena ini adalah yang terbesar yang pernah kita miliki, flotilla terbesar, dan saya ingin berada di sini untuk menunjukkan solidaritas dan dukungan untuk 44 negara yang memiliki warga negara di sini dan untuk semua orang yang akan berada di kapal,” ungkapnya.
Selama di Tunisia, kata Ann, dirinya menerima sejumlah pelatihan khusus sebagai bekal persiapan ke Gaza. Salah satunya, kata dia, adalah pelatihan non-kekerasan. Yakni, upaya tetap diam meski tentara Israel memukuli mereka. Lalu, ada pula pelatihan media supaya para relawan juga bisa berbicara dengan baik soal misi yang mereka lakukan.
“Kami juga mendapatkan pelatihan pertolongan pertama, yang baru saja kami lakukan di sini, meskipun kami akan memiliki tenaga medis profesional di setiap kapal. Kami ingin semua orang terpapar pada segala hal yang bisa saja terjadi, sehingga mereka dapat dipanggil untuk membantu tim medis kami,” ungkap dia.
“Jadi ini merupakan serangkaian hari yang sangat menyenangkan dengan semua orang yang datang dari seluruh dunia untuk mendapatkan pelatihan umum yang mereka butuhkan,” pungkasnya.