
DIAGNOSA -- Banyak orang panik ketika melihat darah di kloset setelah buang air besar. Dalam istilah medis, kondisi ini disebut hematokezia keluarnya darah segar atau merah marun melalui rektum. Perlu dibedakan dengan melena, yaitu feses berwarna hitam pekat seperti aspal yang biasanya berasal dari perdarahan saluran cerna bagian atas.
Meskipun kerap dianggap “sekadar wasir”, berak darah bisa menjadi tanda dari masalah serius, mulai dari peradangan usus hingga kanker kolorektal. Secara global, prevalensinya berkisar antara 4,4% hingga hampir 40% populasi dewasa, dengan puncak kasus pada usia 45–65 tahun.
Tiga Wajah Hematokezia
Tiga bentuk hematokezia memiliki makna klinis yang berbeda. Streak adalah garis tipis darah yang menempel di permukaan feses. Warnanya merah segar. Biasanya berasal dari robekan kecil di anus atau pembuluh darah superfisial di rektum. Kondisi ini sering terkait dengan hemoroid atau fissura ani. Jumlah darah relatif sedikit. Kehadirannya sering konsisten pada setiap buang air besar.
Dripping adalah perdarahan yang muncul setelah feses keluar. Darah menetes langsung ke air kloset. Sumbernya sering lebih proksimal dibanding streak. Misalnya dari hemoroid internal yang meradang. Bisa juga dari polip rektum atau peradangan mukosa rektum. Volume darah bervariasi. Kadang cukup banyak hingga menimbulkan anemia kronis.
Spraying adalah darah yang memercik kuat ke dinding kloset. Hal ini menandakan adanya pembuluh darah yang pecah akibat tekanan tinggi saat defekasi. Umumnya berasal dari lesi vaskular besar di rektum distal atau kolon sigmoid. Tekanan vena atau arteri yang meningkat memperburuk gejala. Kejadian ini dapat membuat pasien panik karena volume dan kekuatan semburan.
Semua bentuk hematokezia ini berbeda dari melena. Pada melena, darah berwarna hitam pekat seperti aspal. Bau sangat khas dan menyengat. Sumber perdarahan biasanya berada di lambung atau duodenum. Proses pencernaan mengubah hemoglobin menjadi hematin. Itulah penyebab warna hitam.
Lokasi perdarahan menentukan penanganan. Hematokezia hampir selalu berasal dari anus, rektum, atau kolon distal. Namun, perdarahan masif dari usus halus atau lambung juga bisa tampak merah bila peristaltik cepat. Identifikasi bentuk perdarahan membantu dokter memperkirakan lokasi sumber perdarahan sebelum pemeriksaan lanjutan.
Jejak Sejarah: Dari Hippocrates ke Era Laser
Jejak sejarah perdarahan rektal mencerminkan evolusi pengetahuan medis dari observasi sederhana menuju intervensi berbasis teknologi presisi. Pada abad ke-5 SM, Hippocrates sudah mencatat hubungan perdarahan rektal dengan wasir dan gangguan pencernaan. Pendekatan yang digunakan masih konservatif, berfokus pada diet, perubahan pola hidup, dan ramuan herbal untuk mengurangi gejala. Konsep penyebab vaskular belum sepenuhnya dipahami, tetapi pengamatan klinisnya menjadi fondasi pemahaman penyakit anorektal.
Memasuki era Romawi, Aulus Cornelius Celsus (37 M) melengkapi pengetahuan ini dengan anjuran diet khusus untuk mengurangi tekanan pada pembuluh darah anus. Ia juga mengusulkan tindakan pembedahan bila terapi ringan tidak berhasil. Operasi pada masa itu masih menggunakan teknik dasar tanpa anestesi modern, sehingga tingkat nyeri dan risiko infeksi sangat tinggi.
Lompatan besar terjadi pada abad ke-18 dengan diperkenalkannya teknik ligasi pembuluh darah wasir. Prosedur ini menargetkan suplai darah ke jaringan hemoroid sehingga menyebabkan regresi tanpa eksisi luas. Terobosan ini mengurangi angka kekambuhan dan memberikan alternatif yang lebih aman dibanding pembedahan terbuka.
Abad ke-20 mempopulerkan hemoroidektomi konvensional, yang memberikan hasil jangka panjang namun sering disertai nyeri pascaoperasi signifikan. Perkembangan anestesi dan teknik steril menurunkan angka komplikasi, tetapi kebutuhan akan prosedur yang lebih nyaman tetap menjadi fokus inovasi.
Kini, era kedokteran minimal invasif menghadirkan teknologi seperti Doppler-guided Hemorrhoidal Artery Ligation (DG-HAL) dan stapled hemorrhoidopexy. DG-HAL memanfaatkan gelombang Doppler untuk memetakan dan mengikat arteri hemoroid secara presisi, meminimalkan nyeri dan mempercepat pemulihan. Sementara itu, stapled hemorrhoidopexy mengembalikan jaringan hemoroid ke posisi anatomis semula dan mengurangi suplai darah secara bersamaan, dengan hasil estetis dan fungsional yang lebih baik.
Berikut adalah tabel yang merangkum evolusi terapi perdarahan rektal dari zaman Hippocrates hingga era laser secara kronologis dan komprehensif.
Spektrum Penyebab
Spektrum penyebab berak darah sangat luas. Sumber perdarahan bisa bersifat lokal maupun sistemik. Pada kategori anorektal, wasir adalah penyebab tersering. Wasir timbul akibat pelebaran pleksus vena di anus. Fisura ani terjadi karena robekan mukosa anal akibat feses keras. Fistula ani merupakan saluran abnormal antara rektum dan kulit perianal yang sering disertai infeksi kronis. Semua kondisi ini biasanya memunculkan darah segar, terutama saat defekasi.
Pada kategori kolorektal, perdarahan dapat berasal dari polip yang rapuh. Kanker kolorektal menyebabkan perdarahan kronis maupun akut. Penyakit radang usus (Inflammatory Bowel Disease / IBD) seperti kolitis ulseratif dan penyakit Crohn memicu inflamasi mukosa yang mudah berdarah. Lesi-lesi ini sering menimbulkan darah bercampur lendir atau disertai diare kronis.
Penyebab sistemik melibatkan gangguan hemostasis. Gangguan pembekuan darah, baik karena kelainan genetik maupun penggunaan obat antikoagulan, mempermudah perdarahan spontan. Penyakit hati lanjut, seperti sirosis, menurunkan produksi faktor pembekuan. Vaskulitis menyerang pembuluh darah usus dan menyebabkan perdarahan difus. Kondisi ini sering disertai gejala sistemik lain seperti demam dan nyeri sendi.
Faktor infeksi juga berperan penting. Amebiasis oleh Entamoeba histolytica menimbulkan kolitis berdarah. Disentri basiler akibat Shigella menyebabkan diare berdarah akut. Infeksi bakteri lain seperti Salmonella atau Campylobacter dapat memicu kolitis hemoragik. Infeksi parasit cacing tambang mengakibatkan perdarahan kronis mikro yang memicu anemia. Penyebab infeksius ini umum di negara berkembang dengan sanitasi kurang baik.
Faktor risiko memperberat kemungkinan terjadinya berak darah. Diet rendah serat memicu konstipasi kronis dan meningkatkan tekanan intraluminal. Obesitas dan kurang aktivitas fisik memperburuk aliran vena anorektal. Kehamilan menambah tekanan pada vena panggul dan rektum. Riwayat keluarga kanker usus meningkatkan kewaspadaan terhadap etiologi neoplastik. Penggunaan antikoagulan meningkatkan risiko perdarahan dari lesi kecil sekalipun. Penyakit radang usus kronis memperbesar kemungkinan kekambuhan gejala. Semua faktor ini dapat bersinergi sehingga memperumit diagnosis dan terapi.
Mekanisme dan Dasar Biologis
Mekanisme dan dasar biologis berak darah bervariasi sesuai penyebabnya, namun memiliki benang merah berupa gangguan integritas vaskular dan mukosa saluran cerna. Pada wasir, proses dimulai dari pelebaran bantalan pembuluh darah di anus. Jaringan penyangga yang lemah tidak mampu mempertahankan posisi normal bantalan tersebut. Akibatnya, terjadi prolaps dan mudah pecah saat tertekan oleh feses.
Secara mikrosirkulasi, hiperperfusi arteri meningkatkan tekanan intravaskular sehingga pembuluh darah melebar berlebihan. Kondisi ini diperburuk oleh neovaskularisasi—pembentukan pembuluh darah baru di area hemoroid. Proses ini dipicu oleh peningkatan ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF), yang membuat jaringan menjadi lebih vaskular namun rapuh. Pembuluh darah baru cenderung tipis, mudah robek, dan sulit mempertahankan hemostasis.
Peradangan kronis memperburuk kerusakan struktural. Aktivasi enzim matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) menghancurkan kolagen dan elastin pada dinding pembuluh dan jaringan penyangga. Akibatnya, kekuatan mekanis anus menurun. Perdarahan bisa semakin masif jika terjadi trombosis pembentukan gumpalan darah yang menimbulkan nyeri hebat. Trombosis memicu respons inflamasi akut, menyebabkan edema dan meningkatkan risiko ruptur pembuluh.
Pada kanker kolorektal, perdarahan dihasilkan dari kombinasi erosi mukosa tumor, angiogenesis abnormal, dan peningkatan kerapuhan pembuluh darah. Di tingkat molekuler, mutasi gen APC atau KRAS mengganggu regulasi proliferasi sel epitel usus. Pertumbuhan tumor yang agresif memicu hipoksia lokal, yang pada gilirannya meningkatkan produksi VEGF dan angiogenesis patologis.
Dalam penyakit radang usus seperti kolitis ulseratif, sistem imun menjadi hiperaktif. Sel-sel T efektor, sitokin proinflamasi seperti TNF-α, dan jalur NF-κB memicu kerusakan mukosa. Ulserasi luas memutus kapiler mukosa, menyebabkan perdarahan difus. Aktivasi imun yang berulang membentuk siklus inflamasi-perdarahan yang sulit diputus.
Bagaimana Dokter Menegakkan Diagnosis?
Penegakan diagnosis berak darah memerlukan pendekatan sistematis yang memadukan pemeriksaan klinis langsung dengan teknologi penunjang modern. Proses dimulai dari anamnesis mendalam. Dokter menanyakan karakter darah (merah segar, marun, atau hitam), waktu keluarnya, hubungan dengan defekasi, gejala penyerta seperti nyeri atau diare, riwayat peny...