
BAK kata pepatah, siapkan payung sebelum hujan. Begitu kiranya kita sebagai manusia harus mempersiapkan diri atas segala kemungkinan dan ketidakpastian. Ungkapan dan aba-aba ini disampaikan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Wamen PKP) Fahri Hamzah dalam acara “Musyawarah Daerah (Musda) XI REI DKI Jakarta 2025” yang dihelat Kamis, 7 Agustus 2025 di Hotel JS Luwansa, Jakarta.
Kegiatan yang dihadiri sejumlah pelaku usaha perumahan itu bertajuk “Optimalisasi Peran REI DKI Jakarta dalam Mewujudkan Pengadaan Hunian Layak di Perkotaan”. Wamen PKP Fahri Hamzah menyatakan, rencana Kementerian PKP terkait penyediaan 3 juta rumah.
Pemenuhan kebutuhan rumah layak huni
Gagasan besar Pemerintahan Prabowo melalui Kementerian PKP adalah untuk mengakselerasi pemenuhan kebutuhan rumah layak huni terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sehingga, masyarakat yang bekerja di sektor informal sekalipun juga bisa merasakan manfaat dari program perumahan di Indonesia berupa pembangunan rumah susun, rumah swadaya, rumah umum dan komersial, serta rumah khusus.
Di hadapan peserta Musda REI DKI Jakarta, Wamen PKP Fahri Hamzah, menyampaikan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah mengalokasikan anggaran yang cukup besar dalam memenuhi pembangunan 3 juta rumah pada RAPBN 2026 dengan fokus Program Prioritas Perumahan Tahun 2026 sebagai berikut, pertama, penyediaan hunian yang sehat, aman, dan nyaman. Kedua, dukungan perbankan dan dunia usaha. Ketiga, kepemilikan rumah MBR yang layak dan terjangkau. Dan keempat, ekosistem perumahan yang selaras antara supply dan demand.
Kabar baik tersebut, disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2025. Rencana alokasi anggaran sebesar Rp 57,7 triliun ini tentu menjadi kabar gembira bagi masyarakat luas, dan pelaku usaha bidang properti dan perumahan.
Program strategis ini dimaksudkan untuk mengatasi backlog perumahan yang membutuhkan penanganan, atau intervensi kebijakan pemerintah agar angka backlog perumahan mengalami penurunan di tahun-tahun yang akan datang.
Perlu disadari, bahwa penanganan backlog perumahan membutuhkan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan bidang perumahan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengembang, perbankan, masyarakat serta sektor swasta. Secara teknis, ekosistem perumahan dibangun oleh tiga entitas kekuatan industri, yakni konstruksi, infrastruktur, dan properti.
BUMN perumahan dan peran pengembang
Pada kesempatan MUSDA REI DKI Wamen PKP Fahri Hamzah menyampaikan akan adanya rencana Pemerintah membentuk BUMN Perumahan untuk mengakselerasi program penyediaan 3 juta rumah yang akan dikebut dengan pembentukan BUMN Perumahan sebagai off taker dalam pembangunan perumahan khususnya di perkotaan.
Melalui BUMN Perumahan, pemerintah bermaksud mempercepat penyediaan rumah layak huni melalui implementasi skema penyediaan perumahan yang inovatif. Caranya, dengan meningkatkan kemitraan dan kolaborasi antarpemangku kepentingan.
Pertanyaan kritisnya adalah, dimana peran dan posisi pengembang (developer) sebagai pelaku usaha? Sejatinya, developer akan tetap berperan penting di sisi penyediaan pasokan (supply) perumahan yang nanti akan bekerja sama dengan BUMN atau badan khusus yang di tunjuk pemerintah untuk menyerap atau membeli perumahan yang dibangun oleh pengembang, atau pihak swasta melalui kerja sama antara BUMN Perumahan dengan pihak swasta.
Pada hakikatnya, pengembangan perumahan merupakan best practices, atau lebih menjadi pengetahuan dan kompetensi pengembang atau pelaku industri. Kita sepakat bahwa tugas utama pemerintah bukan mengubah dirinya menjadi penyedia perumahan (real estate developer). Namun, lebih jauh menjadi perancang kebijakan dan pelaksana serangkaian aturan yang dapat menggerakkan perekonomian secara berkelanjutan, mendorong kewirausahaan dan kekuatan pasar.
Gagasan pembentukan BUMN Perumahan ini sontak memantik diskusi publik khususnya pengembang yang tergabung dalam REI DKI Jakarta dan sejumlah awak media dengan dua pertanyaan mendasar yang perlu dijawab.
Pertama, apakah pemerintah mempunyai cukup dana untuk membiayai pembelian perumahan yang akan dilakukan oleh BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah? Namun hal ini sudah dijawab dalam RAPBN 2026 seperti disampaikan terdahulu. Kedua, bagaimana mekanisme kerja sama antara pihak swasta dalam hal ini anggota REI misalnya dengan BUMN sebagai off taker?
Dalam diskusi dengan Pak Wamen PKP, terjawab bahwa selain sebagai off taker, BUMN Perumahan ini akan memberikan penawaran kepada pihak swasta untuk membangun unit rumah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lokasi pembangunan, ukuran dan tipe perumahan akan ditetapkan oleh pemerintah yang akan diimplementasikan oleh BUMN Perumahan.
Pertanyaan lainnya berapa harga rumah yang akan disepakati apakah masih menggunakan kebijakan yang selama ini berlaku untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP)?
Tentu masih banyak isu-isu teknis yang harus dicari solusinya antara BUMN Perumahan dan pelaku usaha, agar kerja sama ini berjalan dengan baik dan mulus, yang pada akhirnya dapat menyukseskan janji kampanye Pemerintah Prabowo untuk memberikan hunian yang layak kepada warga negara.
Disadari bahwa sektor perumahan dan properti memiliki dampak berantai (multiplier effect) yang signifikan bagi ekonomi, menyumbang sekitar 14-16% pada Produk Domestik Bruto dan sekitar 9,3% dari total penerimaan pajak atau senilai Rp185 triliun per tahun. Sektor perumahan juga tercatat berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu sekitar 31,9% dari total PAD.
Mengutip data Badan Pusat Statistika (BPS), DKI Jakarta termasuk dalam peringkat teratas 10 provinsi dengan tingkat kepemilikan rumah terendah di Indonesia hingga tahun 2023, dengan persentase 56,57%. Disusul Sumatra Utara (71,48%), dan Sumatra Barat (72,61%). Ini menjadi peluang sekaligus tantangan untuk menghadirkan rumah layak huni bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk Jakarta.