Pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) menilai investasi yang didapat pemerintah senilai Rp 10,2 triliun pada 2024 di sektor TPT, belum bisa mengobati perusahaan yang tumbang.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi, mengatakan investasi tersebut tidak bisa menggantikan produksi, juga tenaga kerja yang menerima Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Tambahan investasi yang masuk sebesar Rp 10,2 triliun patut kita syukuri meski belum bisa menggantikannya, investasi yang setop baik dari sisi produksi maupun sisi penyerapan tenaga kerja" ujar Farhan melalui keterangan tertulis, Sabtu (2/8).
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) investasi industri pakaian jadi meningkat 124,9 persen, dari Rp 4,53 triliun pada 2023 menjadi Rp 10,20 triliun pada 2024.
Pada 2024, pertumbuhan industri tekstil, pakaian jadi, serta kulit dan barang jadi dari kulit masing-masing mencapai 0,09 persen, 5,78 persen, dan 6,83 persen.
Farhan menilai banyaknya perusahaan yang tumbang pada 2024 lalu membuat membuat tren PHK ada kemungkinan tetap terjadi tahun ini. Berdasarkan Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang Januari-Juni 2025 terdapat sebanyak 42.385 tenaga kerja terdampak PHK.
Farhan mengungkapkan saat ini Indonesia baru meneken dua kesepakatan penting yaitu tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) dan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) yang sudah dalam tahap finalisasi.
Dia melihat kondisi saat ini membuat industri tekstil membutuhkan tambahan investasi agar bisa berkembang dan memperkuat integrasi.
"Jadi yang kita perlukan aggregate-nya, karena yang terjadi saat ini ada investasi baru tapi lebih besar investasi yang idle karena pabriknya stop sementara bahkan tutup, maka wajar kalau secara nasional utilisasi kita masih dalam tren turun, karena aggregate pertumbuhan investasinya jadi negatif," jelas Farhan.