
Sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai belum berpihak pada korban kejahatan. Minimnya regulasi operasional dan lemahnya tata kelola advokat membuat korban sering kali kehilangan akses terhadap keadilan dan pemulihan.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari menyebut, hingga kini belum ada mekanisme jelas yang memastikan ganti rugi bagi korban dapat disalurkan langsung dari pelaku ke penerima.
"Kita masih belum punya aturan yang cukup operasional, yang bisa memadai bagaimana kalau misalnya uang itu diambil dari pelaku sampai diterima korban," ungkapnya dalam diskusi bertajuk 1 Tahun Prabowo-Gibran: Indonesia Emas Atau Cemas? pada Minggu (19/10).
Ia menambahkan, keterbatasan institusional lembaga perlindungan korban juga memperburuk keadaan. Layanan pemulihan korban baru tersedia di Jakarta, sementara wilayah lain di Indonesia belum terjangkau.
Krisis juga terjadi pada sektor advokat. Iftitahsari menilai banyak advokat yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk membela masyarakat kecil. "Ketika advokatnya dibangun dalam sistem yang tidak akuntabel dan tidak ada standarisasi, maka kita juga tidak bisa punya ekspektasi pembelaan yang efektif," kata Iftitahsari.
Ia menegaskan, pembenahan terhadap tata kelola profesi advokat harus menjadi prioritas agar masyarakat benar-benar memperoleh bantuan hukum yang berkualitas. Tanpa reformasi ini, keadilan hanya akan menjadi milik mereka yang mampu membayar.
"Setiap warga akan berpotensi menjadi korban karena lemahnya sistem peradilan pidana. Korban bukan hanya pelaku kejahatan, tapi juga warga yang tak mampu membela diri di hadapan hukum," pungkas dia. (Mir/P-1)