
MASALAH kesehatan mental di sekolah kini bukanlah hal yang jarang terjadi. Hampir di setiap institusi pendidikan, baik di kota maupun di daerah, ada siswa-siswa yang secara diam-diam berjuang melawan tekanan emosional. Mereka mungkin terlihat biasa, tersenyum, tepat waktu, dan mengikuti pelajaran, tetapi di dalam hati, mereka menanggung kecemasan, stres akibat akademik, tekanan sosial, serta luka psikologis dari pengalaman perundungan atau kekerasan verbal. Bagi mereka, sekolah tidak lagi menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar dan berkembang, tetapi menjadi lokasi yang penuh dengan ketegangan dan tekanan.
Saat ini, banyak siswa yang hadir di kelas tidak hanya membawa tas berisi buku dan tugas, tetapi juga membawa beban mental yang tidak terlihat. Contohnya, sejumlah siswa mengaku merasa cemas akibat tekanan untuk tampil sempurna di media sosial dan merasa ‘kurang’ jika dibandingkan dengan teman-teman sebaya mereka.
Ironisnya, sistem pendidikan kita belum sepenuhnya siap menghadapi kondisi tersebut. Layanan psikologis yang tersedia masih sangat minim dan perhatian terhadap kesejahteraan emosional siswa sering kali dianggap sebelah mata. Padahal, tanpa kesehatan mental yang baik, proses belajar tidak akan mencapai potensi maksimal meskipun kurikulumnya sangat baik.
HAMBATAN EMOSIONAL
Menurut teori hierarki kebutuhan Maslow, rasa aman dan dihargai termasuk dalam kebutuhan dasar yang harus terpenuhi sebelum seseorang dapat mencapai aktualisasi diri. Sekolah seharusnya menjadi tempat yang dapat memenuhi kebutuhan ini: lingkungan yang tidak hanya memberikan pendidikan akademik, tetapi juga menciptakan rasa aman, diterima, dan dihargai sebagai individu. Ketika sekolah menciptakan suasana yang aman dan positif, siswa akan merasa lebih mudah untuk belajar, mengekspresikan diri, dan mengembangkan potensi mereka secara optimal.
Apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi karena berbagai faktor seperti tekanan akademik yang berlebihan, perundungan di antara teman sebaya, atau hubungan yang tidak sehat antara siswa dan pengajar, perkembangan psikologis siswa dapat terganggu. Siswa dapat mengalami kondisi emotional blockage, yaitu emosi yang terhambat dan tidak dapat dikeluarkan dengan cara yang sehat. Mereka mungkin menjadi pendiam, menghindar dari interaksi sosial, sulit berkonsentrasi, atau bahkan bertindak agresif sebagai pelampiasan dari tekanan yang tidak terkelola.
Masa remaja ialah periode yang sangat krusial dalam pengembangan identitas diri. Erik Erikson menyebut fase itu sebagai identity versus role confusion, yaitu saat individu berusaha mengerti siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, dan ke mana arah hidupnya nanti. Remaja mulai mempertanyakan nilai-nilai yang dipegang, mengeksplorasi berbagai peran sosial, dan membangun gambaran diri yang lebih utuh.
Di fase itu, remaja sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitarnya, termasuk sekolah, keluarga, dan teman-teman.
Sekolah, sebagai tempat kedua setelah keluarga, seharusnya mendukung proses penjelajahan dan pembentukan identitas. Dukungan emosional dari guru, rasa diterima dari teman-teman, serta lingkungan belajar yang aman dan inklusif dapat memberikan remaja ruang untuk tumbuh dengan baik. Sebaliknya, jika sekolah menjadi tempat yang menekan, baik karena tuntutan akademis yang berat, kurangnya empati dari pengajar, maupun pengalaman perundungan, perkembangan psikologis remaja dapat terganggu. Mereka tidak hanya kehilangan kesempatan untuk mengenali diri dengan baik, tetapi juga dapat berkembang ke arah yang salah karena merasa tidak memiliki ruang untuk menjadi diri sendiri.
BUDAYA SEKOLAH RAMAH EMOSI
Saat ini, dalam dunia pendidikan kita, budaya persaingan, kurikulum yang padat, dan penekanan pada pencapaian nilai ujian masih menjadi fokus utama. Sekolah sering kali dipandang sebagai arena untuk meraih prestasi akademis. Keberhasilan siswa diukur dari angka di rapor dan peringkat di kelas.
Dengan demikian, perhatian pendidik lebih banyak berfokus pada kemampuan kognitif seperti menghafal, menghitung dengan cepat, atau menyelesaikan soal ujian, sementara aspek emosional dan sosial siswa sering kali diabaikan. Lingkungan belajar menjadi ajang kompetisi yang tegang, bukan ruang berkembang yang mendukung.
Di dalam kerangka tersebut, siswa diajari untuk menjadi pintar dan berprestasi, tetapi tidak diajari keterampilan hidup yang penting seperti mengelola emosi, menyelesaikan konflik interpersonal, membangun ketahanan mental, atau memahami perasaan diri dan orang lain. Padahal, keterampilan itu sangat diperlukan untuk membentuk karakter yang sehat dan kuat di tengah berbagai tekanan kehidupan. Banyak remaja mengalami stres, kecemasan, dan kebingungan identitas, tetapi mereka tidak tahu cara mengatasinya karena sekolah tidak memberikan ruang.
Sering kali, siswa yang terlihat 'nakal', 'malas', sering bolos, atau yang cenderung menyendiri sebenarnya berjuang dengan konflik psikologis yang mendalam, baik dari tekanan di rumah, perundungan di sekolah, atau emosi yang belum mereka pahami.
Sayangnya, bukannya diberi pengertian atau bantuan, siswa-siswa itu malah sering dihukum, diasingkan, atau diberi label negatif. Stigma semacam itu justru memperburuk kondisi psikologis anak, memperkuat rasa tidak percaya diri, dan akhirnya memperbesar jarak antara anak dan lingkungan yang seharusnya menjadi tempat untuk berkembang.
PENGUATAN SDM DI SEKOLAH
Keberadaan psikolog di sekolah kini bukan lagi sekadar tambahan, melainkan juga sebuah keharusan. Guru bimbingan konseling (BK) memiliki peran signifikan dalam mendukung siswa, tetapi tidak semua guru BK memiliki latar belakang pendidikan psikologi klinis atau pengalaman dalam menangani kasus-kasus psikologis yang kompleks.
Oleh karena itu, pihak-pihak terkait dalam pendidikan perlu menyusun kebijakan yang secara sistematis menghadirkan psikolog profesional di lembaga pendidikan. Psikolog sekolah dapat melakukan penilaian psikologis, memberikan konseling personal, menangani kasus krisis, serta menjadi rujukan penting bagi siswa dengan kebutuhan khusus.
Guru merupakan garda terdepan dalam pendidikan karena merekalah yang setiap hari berinteraksi langsung dengan siswa. Karena itu, mereka seharusnya tidak hanya dilengkapi dengan keterampilan mengajar, tetapi juga pengetahuan dasar tentang kesehatan mental.
Pelatihan mengenai pertolongan pertama mental, ketahanan, dan literasi emosional sangat diperlukan agar guru mampu mendeteksi lebih awal gejala stres, kecemasan, atau perilaku yang bermasalah pada siswa. Dengan pelatihan yang tepat, guru tidak hanya dapat menghindari kesalahan dalam penanganan, seperti memberikan hukuman kepada siswa yang sedang menghadapi masalah psikologis, tetapi juga dapat menjadi sumber dukungan awal yang efektif bagi anak.