Jalan Panjang Indonesia Menuju Kedaulatan Ekonomi

12 hours ago 7
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Jalan Panjang Indonesia Menuju Kedaulatan Ekonomi (MI/Seno)

DI suatu senja yang tenang, di antara riuh kota dan kilau layar gawai yang tak pernah padam, muncul satu pertanyaan yang menggema di lubuk kesadaran bangsa: kepada siapa sesungguhnya kita menyerahkan kendali atas nasib ekonomi kita? Kepada algoritma tanpa nurani? Kepada pasar yang tak mengenal belas kasih? Ataukah masih kepada negara yang memegang amanah rakyatnya sendiri?

Kita hidup di zaman ketika kekuasaan tidak lagi tampak dalam istana atau pabrik, tetapi bersemayam di server data, jaringan logistik, dan kode digital. Dunia kini bergerak dalam irama yang tak kasatmata--irama arus modal, teknologi, dan kepentingan global yang menembus batas negara.

Dalam pusaran itu, bangsa-bangsa kembali menatap ke langit dan bertanya tentang commanding heights: puncak-puncak komando ekonomi yang menentukan arah peradaban. Di sanalah masa depan dipertaruhkan, bukan semata oleh siapa yang kaya, melainkan oleh siapa yang mampu menjaga jiwanya tetap tegak di tengah badai globalisasi.

Istilah commanding heights pertama kali diucapkan oleh Vladimir Lenin pada awal abad ke-20 ketika ia menegaskan bahwa negara harus menguasai sektor-sektor strategis--energi, transportasi, dan industri berat--demi memastikan rakyat tidak menjadi budak modal. Namun, maknanya berubah pasca-Perang Dingin.

Melalui karya Daniel Yergin dan Joseph Stanislaw, The Commanding Heights: The Battle for the World Economy, istilah itu menjadi metafora dari pertarungan ideologis antara negara dan pasar. Sejak saat itu, dunia berayun dari nasionalisasi ke liberalisasi, dari rencana lima tahun menuju deregulasi tanpa batas.

JALAN PANJANG

Indonesia tak pernah absen dari ayunan itu. Sejak awal kemerdekaan, Bung Karno telah mengingatkan bahwa kemerdekaan politik tanpa kemandirian ekonomi hanyalah kemerdekaan semu. Berdikari bukanlah romantisme, melainkan kesadaran historis bahwa bangsa tanpa kendali atas sumber dayanya hanya akan menjadi penonton dalam panggung global.

Namun, perjalanan itu berliku. Pada masa Orde Baru, negara tampil sebagai pengendali utama sekaligus mitra kapital global. Pertumbuhan memang melesat, tetapi ketimpangan melebar. Reformasi kemudian membawa arus baru: desentralisasi, privatisasi, dan deregulasi--yang membuat pasar melaju tanpa arah moral sementara negara perlahan kehilangan posisi strategisnya.

Kini, di tengah semangat Astacita dan cita-cita Indonesia emas 2045, bangsa ini kembali menatap pertanyaan lama dalam wajah baru: apakah negara masih memegang kemudi pembangunan atau sekadar menjadi penumpang dalam kapal globalisasi yang berlayar tanpa kompas etika?

Jawaban atas pertanyaan itu menuntut kebijaksanaan baru. Negara yang cerdas tidak harus memonopoli, tetapi juga tak boleh melepaskan kendali. Ia harus menjadi pengarah, bukan penguasa; kondukrot dalam orkestra ekonomi nasional yang memainkan harmoni antara publik, swasta, dan masyarakat.

Dalam konteks inilah muncul arsitektur baru commanding heights Indonesia. Lembaga seperti Daya Anagata Nusantara (Danantara), atau Sovereign Wealth Fund Indonesia, menjadi simbol transformasi paradigma. Negara kini tidak lagi menguasai secara langsung seluruh alat produksi, tetapi mengelola kekuatan finansialnya untuk memantik partisipasi modal swasta, memperkuat industri strategis, dan menumbuhkan rantai nilai domestik.

Peran Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menjadi sentral dalam ekosistem itu. Himbara bukan hanya lembaga intermediasi keuangan, melainkan juga simpul kebijakan pembangunan nasional. Melalui Himbara, negara menyalurkan makna konkret dari kedaulatan ekonomi.

Peran kolektif Himbara ini menjadikan mereka bukan sekadar alat negara, melainkan juga pilar strategis dalam commanding heights baru Indonesia. Mereka tidak bekerja dalam ruang hampa; sinergi mereka dengan kebijakan fiskal, Danantara, dan BUMN sektor riil membentuk ekosistem finansial yang lebih terarah. Di tangan Himbara, visi kedaulatan ekonomi menemukan bentuk paling konkret: kapital yang berpihak, finansial yang berkeadilan, dan pembangunan yang berdimensi sosial.

Ketika dunia menghadapi gejolak global, stabilitas Himbara menjadi jangkar ketahanan ekonomi domestik. Mereka tidak sekadar menyalurkan kredit, tetapi juga menjaga momentum ekonomi melalui dukungan terhadap program prioritas nasional. Melalui Himbara, negara menunjukkan bahwa kekuasaan ekonomi bisa hadir tanpa dominasi--kuat, tapi melayani; besar, tapi membumi.

Puncak-puncak komando ekonomi abad ke-21 tidak lagi berada di ladang minyak atau pabrik baja, tetapi pada data, teknologi, dan konektivitas. Di sinilah tantangan besar Indonesia: membangun kedaulatan digital di tengah dominasi raksasa global yang menguasai perilaku dan data warganya.

Jeffrey Sachs, dalam The Price of Civilization, mengingatkan bahwa krisis terbesar dunia bukanlah ekonomi, melainkan etika. Pertumbuhan tanpa keadilan dan efisiensi tanpa empati hanya akan melahirkan peradaban yang kehilangan arah. Maka itu, pembangunan Indonesia tidak boleh hanya mengejar angka PDB, tetapi juga harus menumbuhkan manusia yang berdaya, bermartabat, dan beradab. Ekonomi tangguh bukan semata industrialisasi, melainkan pemerataan kesempatan, inklusi keuangan, dan kesejahteraan yang merata.

Ha-Joon Chang, dalam Kicking Away the Ladder, memberi pelajaran penting: negara maju tak pernah tumbuh di bawah dogma pasar bebas. Indonesia harus berhati-hati agar tidak sekadar menjadi penerima kebijakan global, tetapi juga lebih berperan aktif dalam mengembalikan sentra pikir kebijakan regional yang dapat menentukan arah anti hegemonik satu atau dua negara besar saja. Investasi yang berorientasi nilai tambah dan pendidikan vokasi ialah tangga yang tak boleh ditendang sebelum kita sampai di puncak.

Namun, ekonomi tak pernah lepas dari geopolitik. John Mearsheimer mengingatkan bahwa dunia tetap ditentukan oleh kekuatan dan kepentingan. Dalam lanskap global yang penuh rivalitas, Indonesia harus pandai memainkan strategi hedging--menjaga keseimbangan antara Timur dan Barat, antara modal asing dan kedaulatan nasional.

Diversifikasi hubungan ekonomi dengan Amerika Serikat, Tiongkok, Eropa, Timur Tengah, dan ASEAN ialah bentuk dari diplomasi strategis yang menjaga ruang manuver Indonesia di tengah turbulensi global.

Namun, sebesar apa pun rancangan kebijakan, kedaulatan sejati hanya akan lahir dari manusia yang berkarakter.

Seperti diingatkan Sachs, kemajuan sejati tidak diukur dari tinggi menara atau lebar jalan, tetapi dari sejauh mana manusia di dalamnya mampu berpikir, mencipta, dan berempati. Investasi terbesar bangsa ini bukanlah pada baja atau nikel, melainkan pada pendidikan, riset, dan daya cipta.

MENJAGA KESEIMBANGAN

Bangsa yang kehilangan kendali atas energi, pangan, dan data sejatinya kehilangan kedaulatannya--betapa pun tinggi angka pertumbuhannya. Sebaliknya, bangsa yang mampu menjaga keseimbangan antara kekuatan negara, vitalitas pasar, dan moralitas publik akan menemukan jalan menuju kedaulatan sejati.

Menguasai commanding heights bukanlah tentang menaklukkan pasar, melainkan juga menundukkan ego demi kepentingan bersama. Ia bukan sekadar mengendalikan mesin ekonomi, melainkan juga menata arah jiwa bangsa. Indonesia akan menjadi bangsa besar bukan karena kekayaannya, melainkan karena kebijaksanaannya dalam menafsirkan makna kemajuan.

Di sanalah, di puncak komando itu--dengan hati yang tenang dan tekad yang kokoh--masa depan Indonesia sedang menunggu untuk ditaklukkan. Bukan dengan senjata, melainkan dengan pengetahuan. Bukan dengan kekuasaan, melainkan dengan kebijaksanaan. Itu karena kedaulatan ekonomi sejati bukanlah kemampuan untuk menutup diri dari dunia, melainkan keberanian untuk menatap dunia dengan kepala tegak dan hati yang merdeka.

Sejarah mengajarkan, bangsa-bangsa yang bertahan bukanlah yang terkuat, melainkan yang paling mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati dirinya. Di tengah dunia yang terfragmentasi oleh kepentingan, Indonesia harus menjadi jangkar moral baru--sebuah mercusuar yang menuntun arah peradaban menuju kemanusiaan yang lebih adil dan beradab.

Ketika kelak sejarah menulis bab baru tentang abad ke-21, biarlah nama Indonesia disebut bukan sekadar sebagai pasar besar atau produsen bahan mentah, melainkan juga sebagai bangsa yang berani menapaki jalannya sendiri menuju kedaulatan. Sebuah bangsa yang memahami bahwa di balik puncak-puncak komando ekonomi, tersembunyi satu hal yang tak bisa dinegosiasikan: martabat.

Pada akhirnya, kedaulatan ekonomi bukan sekadar tentang siapa yang menguasai sumber daya, melainkan juga siapa yang mampu menjaga arah nurani. Selama bangsa ini masih...

Read Entire Article